Marsigit Philosophy 2019 (Makalah Filsafat Pend. Matematika)-Dea Armelia
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
“ Tinjauan Filsafat dalam
Memahami
Kesulitan Siswa Belajar Matematika”
Diajukan
kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A.
untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu
Oleh
Dea
Armelia (19709251072)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2020
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Permasalahan
filsafat pendidikan seringkali diabaikan dalam praksis pendidikan kita. Banyak
guru dan birokrat pendidikan bahkan tidak mengenal filsafat. Tidak mengherankan
jika gerak pendidikan yang dikendalikan tidak berakar pada hakikat filosofis
pendidikan itu sendiri. Berkaitan dengan ilmu pengetahuan (pendidikan misalnya)
maka filsafat berbicara akan berbicara tentang masalah apa, bagaimana cara, dan
untuk apa pengetahuan diperoleh. Jujun S. Suriasumantri (dalam Susanto, 2013:
131) mengungkapkan bahwa untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan
pengetahuan lainnya maka perntanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang
dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)? Bagaimana caranya mendapatkan
pengetahuan tersebut (epistemology)? Serta untuk apa pengetahuan
termasuk dipergunakan (axiologic)? Dengan demikian, berbicara masalah
pendidikan maka akan muncul tiga pertanyaan kunci (i) apa dan bagaimana realita
pendidikan kita selama ini (ontologis), (ii) bagaimana sebaiknya pendidikan
kita dilaksanakan (epistemologis), dan (iii) apakah manfaat pendidikan
digunakan dibangun dan dikembangkan (aksiologis).
Berbicara
tentang filsafat pendidikan matematika berarti berbicara tentang unsur yang ada
pendidikan. Salah satu unsur yang penting dalam pendidikan adalah guru. Namun
pertanyaan yang muncul adalah apakah para guru matematika menyadari bahwa salah
satu hal penting yang harus ia pelajari adalah filsafat pendidikan matematika?
Maka jawaban yang diberikan oleh guru adalah sebuah pertanyaan balikan yaitu
apa penting filsafat pendidikan matematika itu untuk kami para guru. Jawaban
ini menunjukkan bahwa para guru matematika merasa yang paling penting baginya
adalah menguasai semua konsep matematika dan mengajarkan matematika pada siswa.
Fakta menunjukkan bahwa para guru matematika mengajar matematika sebagai ilmu
yang abstrak padahal dalam kehidupan, kita akan selalu berjumpa dengan
matematika yaitu masalah-masalahnya, karena itu pendidikan matematika adalah
sebuah kegiatan pemecahan masalah. Pemikiran para guru di atas, tercermin dalam
bagaimana ia melakukan kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan matematika
merupakan proses penyampaian konsep-konsep matematika yang dikuasainya dan
peran siswa dalam kegiatan tersebut adalah sebagai pendengar yang manis yang
tidak mampu berpikir dan diharapkan mampu menghafal. Siswa adalah kertas kosong
yang harus ditulis sebanyak-banyaknya dan jika ditanya apakah nilai atau
manfaat yang diperoleh siswa, maka jawabannya adalah penguasaan sejumlah
konsep-konsep matematika. Inilah paradigma pendidikan lama yang sampai saat ini
belum bisa terganti.
Paradigma
pendidikan matematika tersebut yang harus kita ubah. Pertanyaan siapa yang
harus berubah dan kapan perubahan itu dimulai? Jawabannya adalah kita dan
sekarang. Kita sebagai para guru matematika yang sudah mempelajari tentang
filsafat pendidikan matematika harus memandang pendidikan matematika sebagai
sesuatu yang lebih kompleks dan harus dipikirkan dan dilakukan. Pikirkan apa
yang harus kita pikirkan dan lakukan yang harus kita lakukan dalam hubungan
dengan filsafat pendidikan matematika, yang kita pikirkan dan kita lakukan
sekarang adalah perubahan. Kita adalah para filsuf yang bertanggung jawab untuk
memikirkan dan melakukannya perubahan tanpa melupakan peranan para filsuf
matematika terdahulu sebagai landasan berpijak kita. Upaya yang kita lakukan
adalah merubah pandangan kita tentang filsafat pendidikan matematika, karena
dalam filsafat pendidikan matematika, kita akan mengetahui hakekat semua unsur
pendidikan matematika. Dengan mengetahui hakekat tersebut akan memberi pedoman
bagaimana kita melakukan pendidikan matematika dan pada akhirnya pendidikan
matematika berujung pada nilai yang harus dicapai dari pendidikan matematika
tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
tinjauan filsafat pendidikan matematika dari segi Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi?
2. Bagaimana
cara pandang beberapa aliran filasat terhadap matematika?
3. Bagaimana
tinjauan filsafat dalam memahami kesulitan siswa belajar matematika?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam penulisan makalah ini sebagai berikut.
1. Untuk
menjelaskan filsafat pendidikan matematika dari segi Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi.
2. Untuk
menjelaskan beberapa aliran filsasat memandang matematika.
3. Untuk
mendeskripsikan kesulitan siswa belajar matematika secara fisafat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Pendidikan Matematika
Filsafat
pendidikan matematika termasuk filsafat yang membahas proses pendidikan dalam
bidang studi matematika. Pendidikan matematika adalah bidang studi yang
mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar
dan mengajar matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun
penerapannya di kelas.
1.
Ontologis Filsafat Pendidikan
Matematika
Menurut
Marsigit (2010) Pendidikan itu dapat diibaratkan sebagai gerbong kereta api.
Demikian juga pendidikan matematika. Filsafat itu dapat diibaratkan sebagai
helikopter pengawal gerbong kereta api. Para pendidik, atau guru atau praktisi
kependidikan jika tidak pernah mempelajari filsafat pendidikan atau filsafat
pendidikan matematika, mereka itu ibarat penumpang kereta api tersebut. Maka
bagaimana mungkin penumpang kereta api bisa mengetahui semua aspek sudut-sudut
gerbong kereta api dalam perjalanannya. Maka filsafat pendidikan matematika itu
ibarat seorang penumpang kereta api itu keluar dari gerbong kereta api,
kemudian keluar naik helicopter untuk mengikuti dan memonitor laju perjalanan
kereta api itu. Maka orang yang telah mempelajari filsafat pendidikan
matematika atau jauh lebih kritis dan lebih dapat melihat dan mampu mengetahui
segala aspek pendidikan matematika.
Selanjutnya
Marsigit (2010) mengatakan bahwa filsafat pendidikan matematika adalah refleksi
terhadap pendidikan matematika, meliputi refleksi terhadap semua yang ada dan
yang mungkin ada dalam pendidikan matematika. Padahal pendidikan matematika itu
meliputi guru, matematika, murid, ruang, kegiatan, alat dan sebagainya. Padahal
guru itu mempunyai sifat yang banyak sekali. Jadi ada banyak hal yang perlu
direfleksikan. Maka filsafat pendidikan matematika, memperbincangkan semua
obyek-obyeknya. Maksud memperbincangkan adalah menjelaskan semua dari apa yang
dimaksud dengan semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan
matematika. Selanjutnya, berkaitan dengan filsafat pendidikan, seorang guru
matematika harus memahami filsafat pendidikan apa yang dianutnya dengan menggunakan
pertanyaan berikut mengapa kita perlu mengajar/belajar matematika?" Siswa
biasanya mengajukan pertanyaan ini ketika akan belajar tentang matematika. Ada
banyak jawaban yang kita berikan diantaranya: matematika berguna, matematika
itu indah, dan matematika adalah masalah dalam kehidupan siswa. Jawaban yang
terakhir akan membantu siswa untuk berpikir kritis, dan memecahkan masalah
matematis.
Secara
ontologis filsafat pendidikan matematika berbicara tentang hakekat
obyek-obyeknya yang sebelumnya sudah dibahas di atas. Obyek-obyek filsafat
pendidikan matematika tersebut adalah.
a.
Hakikat
Siswa dalam Pendidikan Matematika
Dalam
pandangan lama siswa adalah anak yang duduk di belakang meja yang mendengarkan
semua ucapan gurunya. Namun pandangan tentang siswa tersebut sekarang sudah
berubah seiring perubahan paradigma pendidikan. Siswa adalah pembelajar aktif
yang membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada sebagai
konsep kertas putih yang masih kosong yang siap ditulis pengetahuan dari guru
(tabula rasa). Siswa juga individu yang lagi senang bermain. Siswa juga
mempunyai pengalaman dan mampu berpikir. Berhubungan dengan matematika maka
siswa dalam pendidikan matematika adalah individu yang mampu membangun
konsepnya sendiri melalui pengalaman dan pikiran namun masih senang bermain.
b.
Hakikat
Guru dalam Pendidikan Matematika
Siapakah
guru matematika? Sebelum menjawab pertanyaan tentang guru matematika terlebih
dahulu kita tahu dulu siapakah guru itu. Menurut PP nomor 19 Tahun 2017 tentang
guru, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun hakekat guru tersebut belum
sepenuhnya dimengerti dan dipahami oleh guru khususnya para guru matematika.
Berdasarkan fakta di lapangan para guru matematika masih salah menerjemahkan PP
tersebut. Guru masih berpikir bahwa tugasnya ada Pandangan siswa tentang
seorang guru matematika adalah seorang yang kejam, bengis selalu memberi
hukuman, yang pintar menghafal semua konsep matematika. Guru matematika sebagai
seorang penceramah atau pemberi materi yang semua ucapannya selalu benar karena
itu harus didengar dan tidak dibantah. Guru matematika selama ini berperan
sebagai seorang penceramah abstrak karena materi yang diberikan susah untuk
dimengerti karena terasa asing dan jauh dari lingkungan siswa. Perubahan
paradigma pendidikan menuntut guru matematika untuk merubah cara pandang
terhadap dirinya dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan filsafat
konstruktivis seorang guru matematika adalah orang yang membantu atau
memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuan.
c.
Hakikat
Pembelajaran Matematika
Menurut
filsafat konstrukstivis pembelajaran matematika adalah kegiatan membelajar
siswa. Sesuai dengan hakekat siswa maka belajar adalah proses untuk membangun
pengetahuan sendiri. Jadi pembelajaran adalah suatu kegiatan dimana siswa
difasilitasi oleh guru untuk membangun pengetahuan sendri. Jadi pembelajaran
matematika bukan merupakan kegiatan pemberian informasi atau konsep saja tetapi
merupakan kegiatan yang menempatkan siswa sebagai subyek yang aktif.
Pengetahuan tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa. Jadi pembelajaran
matematika diharapkan mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
d.
Hakikat
Penilaian
Karena
pembelajaran menekankan pada kegiatan penyampaian informasi maka penilaian yang
dilakukan tidak mencakup semua aspek pendidikan. Guru lebih menekankan
penilaian secara kognitif itupun hanya mengukur hasil akhirnya saja. Dalam
filsafat konstruktivis tujuan pendidikan adalah membangun pengetahuan sendiri.
Oleh karena itu penilaian bukan hanya penilaian akhir yaitu penilaian terhadap
penguasaan semua materi matematika tetapi juga meliputi penilaian proses dalam
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
e.
Hakikat
Matematika Sekolah
Matematika
sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih, antara lain
dengan pertimbangan atau berorientasi pada pendidikan. Oleh karena itu,
pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa.
Matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah adalah
matematika sekolah. Matematika yang diajarkan di senang persekolahan seperti
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas disebut
matematika sekolah. Matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian
matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk
pribadi serta berpadu pada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Marselina,
2011).
Ebbut dan Straker
(Marsigit, 2013) menguraikan hakikat matematika sekolah, matematika adalah
kegiatan penelusuran pola dan hubungan; kreatifitas yang memerlukan imajinasi,
intuisi, dan penemuan; kegiatan problem solving; alat komunikasi. Matematika
adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan. Matematika
adalah alat komunikasi dalam kegiatan problem solving
2.
Epistemologis Filsafat Pendidikan Matematika
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di
sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu
pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan
belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih
lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (Marselina, 2011)
praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan
dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan
berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada
peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan
berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.
Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus
mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah
pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Menurut Zamroni (Marselina,
2011) melalui paradigma baru tersebut
diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani
menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki
kepercayaan diri yang tinggi.
Filsafat yang sangat berpengaruh terhadap
pembelajaran matematika adalah filsafat kontruktivism. Menurut filsafat
konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih
penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang
dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa
cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru, akan dapat
menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain.
a.
Tinjauan
epistemologis tentang siswa dalam pendidikan matematika
Tinjauan
epistemologis dapat dikaji melalui pertanyaan: "Bagaimana siswa belajar
matematika?" Dalam paradigma lama cara siswa belajar matematika adalah
dengan menghafal semua materi. Cara pandang terhadap pendidikan matematika
telah berubah karena itu kita sebagai guru matematika wajib mengubah cara
belajar siswa. Siswa perlu belajar mandiri dan aktif untuk membangun dan
menemukan konsep matematika. Mereka harus berpikir dan memahami apa yang mereka
pelajari karena pada dasarnya matematika merupakan kegiatan berpikir dan apa
yang dipikirkannya tentu berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh guru.
Belajar
matematika bagi siswa bukanlah tugas yang sederhana yang hanya terdiri dari
kegiatan menghafal dan praktek. Siswa adalah pembelajar aktif membangun
pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep daripada hanya berupa "tabula
rasa" untuk "menyalin" pengetahuan langsung dari guru. Siswa
juga akan belajar dengan baik ketika mereka bekerja sama dan mengembangkan
pemahaman melalui menggunakan pengalaman sebelumnya, wacana, dan penalaran.
Dengan kata lain, ide ini adalah konstruktivisme sosial, lingkungan matematika
yang berpusat pada siswa, kemandirian, dan aktif. Proses belajar ini diperlukan
untuk membangun pengetahuan dan pemecahan masalah matematika.
b.
Tinjauan
epistemologis tentang guru dalam pendidikan matematika
Pertanyaan
berikutnya adalah "Bagaimana guru mengajar matematika?". Selain
memiliki pengetahuan latar belakang matematika yang kuat, guru harus memiliki
keterampilan pembelajaran yang baik untuk mengajar, mempromosikan, dan membantu
siswa belajar efektif. Guru adalah pendamping atau fasilitator, bukan
pentransfer pengetahuan. Mereka harus memotivasi siswa untuk secara aktif
memeriksa dan memperluas pemikiran mereka, bentuk lingkungan percakapan di mana
siswa berbagi dan membangun pengetahuan mereka sendiri, instruksi desain yang
memungkinkan siswa untuk belajar dengan melakukan, menyelaraskan kurikulum
sesuai dengan standar dan penilaian siswa, dan menerapkan teknologi untuk
meningkatkan pengajaran dan bersandar. Singkatnya, guru yang membuat kelas yang
memaksimalkan pembelajaran siswa.
c.
Tinjauan
epistemologis tentang pembelajaran matematika
Pendidikan
diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik
yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan
potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya
pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma
pembelajaran.
Paradigma
pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran
pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut
bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada
peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya. Dengan
mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik
peserta didik sebagai masukan dalam sistem pembelajaran, dan di sisi lain ada
tuntutan agar proses pembelajaran mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, maka
proses pembelajaran harus dipilih, dikembangkan, dan diterapkan secara
fleksibel dan bervariasi yang memenuhi kriteria minimal. Secara konseptual
proses pembelajaran yang bersifat fleksibel dan bervariasi perlu diterapkan
pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
Sampai
saat ini pembelajaran matematika bagi siswa-siswa di tingkat dasar maupun
tingkat menengah merupakan pelajaran yang dipandang sulit dan tidak disenangi
oleh sebagian besar siswa. Inilah paradigma pembelajaran matematika yang selama
ini terjadi pada kebanyakan sekolah. Pembelajaran matematika sekolah di tingkat
dasar dan menengah merupakan pelajaran wajib bagi siswa selama berada di bangku
sekolah. Bagi siswa yang minat dan mampu mempelajari konsep matematika
merupakan anugerah dan mereka terasa nyaman mengikuti pembelajaran matematika.
Tetapi bagi siswa yang tidak senang dengan matematika terasa musibah yang harus
diikuti dengan terpaksa selama ia berada di sekolah tersebut.
Pertanyaan
yang mengkaji epitemologis dari tentang pembelajaran matematika adalah
bagaimana cara melaksanakan pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan
dengan pemilihan atau penggunaan metode pembelajaran matematika. Metode yang
paling dominan digunakan oleh para guru termasuk guru matematika adalah metode
ceramah atau tanya jawab. Metode ini menekankan pembelajaran matematika sebagai
proses penyampaian materi matematika. Dalam metode ini guru menempatkan siswa
sebagai individu yang pasif, tidak mampu berpikir, dan tidak ada perbedaan
diantara mereka.
Dengan
perubahan paradigma pendidikan maka berubah pula metode pembelajaran matematika
yang digunakan oleh guru. Pemilihan metode pembelajaran matematika harus
mempertimbangkan beberapa hal yaitu: hakekat siswa, hakekat guru, hakekat
pembelajaran, hakekat penilaian, hakekat matematika sekolah dan hakekat
penilaian.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apa tujuan pembelajaran matematika? Tujuan pembelajaran
matematika menurut Paul Ernest tidak ada dalam ruang hampa. Tujuan tersebut
merupakan milik orang, apakah individu atau kelompok social yang melaksanakan
pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran matematika tersebut harus
berkaitan dengan kelompok sosial dan masyarakat pada umumnya. Tujuannya adalah
mengekspresikan nilai pendidikan dan nilai sosial masyarakat atau bagian dari
yang terlibat dalam pembelajaran tersebut. Tujuan dan nilai-nilai pendidikan
matematika terpusat pada perhatian terhadap kegiatan kelompok siswa.
d.
Tinjauan
epistemologis tentang penilaian dalam pendidikan matematika.
Pertanyaan
epistemologis menyangkut penilaian pendidikan matematika adalah: Bagaimanakah
melakukan penilaian dalam pembelajaran matematika? Pertanyaan ini berhubungan
dengan jenis penilaian yang kita gunakan. Jawabannya tergantung pada tujuan
pendidikan matematika. Jika pendidikan bertujuan untuk penguasaan materi maka
penilaian yang digunakan adalah penilaian akhir yang berupa tests untuk
mengukur sejauh mana penguasaan materi oleh siswa.
Dalam
pendidikan matematika sekarang ini penilaian yang dilakukan diharapkan mengukur
semua aspek bukan pada penguasaan materi pembelajaran tetapi lebih khusus pada
penguasaan kompetensi karena itu penilaian yang dilakukan juga memperhatikan
kemampuan psikomotorik siswa.
e.
Tinjauan
epistemologis tentang matematika sekolah
Pertanyaan
epistemologisnya adalah bagaimana mengembangkan matematika sekolah? Penyajian
matematika sekolah disesuaikan dengan karakteristik siswa. Pola pikir
matematika sebagai ilmu adalah deduktif, sifat atau teorema yang ditemukan
secara induktif , selanjutnya harus dibuktikan secara deduktif. Namun dalam
matematika sekolah pola pikir induktif dapat digunakan dengan maksud
menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa
Implikasi
dari pandangan bahwa matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan
hubungan adalah: memberikan kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan
dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara, mendorong siswa untuk
menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan dan pengelompokan; mendorong
siswa menarik kesimpulan umum; dan membantu siswa memahami dan menemukan
hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.
Implikasi
dari pandangan matematika adalah kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi
dan penemuan terhadap pembelajaran matematika adalah: mendorong inisiatif dan
memberi kesempatan berpikir berbeda; mendorong rasa ingin tahu, keinginan
bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan; menghargai penemuan
yang di luar perkiraan sebagai hal yang bermanfaat; mendorong siswa menemukan
struktur dan desain matematika; mendorong siswa menghargai penemuan siswa
lainnya; mendorong siswa berpikir refleksif; dan tidak menyarankan penggunaan
suatu metode tertentu. Implikasi dari matematika sebagai alat komunikasi dalam
kegiatan problem solving, maka dalam pembelajaran matematika guru perlu
menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan
matematika, membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya
sendiri, membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan matematika, mendorong siswa untuk berfikir logis, konsisten,
sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, mengembangkan
kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan, membantu siswa
mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat peraga/media
pendidikan matematika seperti jangka, kalkulator, dan sebagainya.
Implikasi
dari pandangan bahwa matematika sebagai alat komunikasi dalam pembelajaran
adalah: mendorong siswa membuat contoh sifat matematika; mendorong siswa
menjelaskan sifat matematika; mendorong siswa memberikan alasan perlunya
kegiatan matematika; mendorong siswa membicarakan persoalan matematika;
mendorong siswa membaca dan menulis matematika; menghargai bahasa ibu siswa
dalam membicarakan matematika
f.
Tinjauan
epistemologis tentang kurikulum pendidikan matematika
Pertanyaan
tentang kurikulum matematika yang berhubungan dengan epistemologis adalah:
bagaimanakah mengembangkan kurikulum pendidikan matematika? Sebelum menjawab
secara khusus dalam matematika, kita perlu membahas pengembangan kurikulum
pendidikan secara umum terlebih dahulu. Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita
merujuk pada pemikiran Ella Yulaelawati (Marselina, 2011) yang menguraikan
kaitan filsafat dengan pengembangan kurikulum.
Perenialisme
lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada
warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting
dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham
ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat
pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme
menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama
halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa
lalu.
Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan: bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
Progresivisme
menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan
bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran
progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat
ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada
progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan
masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk
apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran
ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme,
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan
Model Kurikulum Subjek Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan
dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat
rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum
Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan
keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum,
penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih
mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan
pendidikan.
3.
Tinjauan Aksiologi Filsafat
Pendidikan Matematika
Berbicara
tentang aksilogis berarti berbicara tentang manfaat dan nilai yang diperoleh
dari pendidikan matematika tersebut. Manfaat pendidikan matematika dirasakan
oleh bagi siswa dan bagi guru yang mengacu pada tujuan pendidikan matematika.
Nilai yang dapat diperoleh dari filsafat pendidikan matematika adalah bahwa
kita sebagai guru matematika hendaknya merefleksi sejauh mana pembelajaran yang
kita lakukan sesuai dengan hakekatnya masing-masing. Melalui filsafat
pendidikan matematika, guru metematikapun memperoleh pedoman atau acuan untuk
menyusun dan mengembangkan pendidikan matematika
B. Aliran
Filsafat Memandang Matematika
Perbedaan pandangan terhadap matematika
muncul sejak zaman dahulu sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi
oleh filsafat yang dianutnya. Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat
matematika, yaitu Platonisme, Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut
Platonisme menganggap bilangan adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan
bebas dari akal budi manusia. Menurut aliran Formalisme, matematika adalah
tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa matematika (mathematical language). Sedangkan menurut paham Intuisionisme,
matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p. 218-219).
Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham yang
memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap matematika
mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan matematika. Seiring dengan perbedaan
tersebut, berkembang pula berbagai teori belajar mengajar matematika.
Aliran-aliran
filsafat tersebut berperan penting menghasilkan cara pandang manusia terhadap
matematika. Hal yang disayangkan adalah lebih dari 2000 tahun matematika
didominasi oleh paradigma absolut yang memandang bahwa matematika sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan
kehidupan manusia. Dalam paradigma tersebut, siswa dipandang sebagai objek yang
pasif, karena yang diutamakan adalah pengetahuan matematikanya. Ilmu pengetahuan
matematika disampaikan menggunakan sistem transmission of knowledge
(bagaikan menuangkan air dari poci ke dalam gelas). Tujuan ideal pembelajaran
matematika siswa mempunyai kemampuan-kemampuan untuk memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif, tidak didekati dengan paradigma yang benar untuk
mencapai tujuan tersebut.
Secara umum terjadi perubahan trend strategi dalam pembelajaran matematika
dari masa ke masa. Trend ini terjadi di seluruh dunia walaupun tidak dalam
waktu yang bersamaan. Di masa lalu pada permulaan abad ke-20, otak dianggap tersusun
atas fakulti-fakulti yang perlu dilatih sehinga pembelajaran matematika dianggap
sebagai latihan mental. Akibatnya materi yang diberikan adalah yang sulit,
semakin sulit semakin bagus. Pada saat ini paradigma tersebut bergeser menuju
pada paradigma belajar yang mana pelaksanaan pembelajaran lebih mengedepankan
pada kepentingan siswa. Terkait dengan hal ini, Canfied dan Hansen (Sugiman,
2009:3) mengutip ungkapan Meladee Mc Carty bahwa “Anak-anak di dalam kelas kita
mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka. “
Lange (Sugiman, 2009:4) memandang bahwa
pembelajaran matematika yang baik adalah yang memperhatikan pada tiga dimensi
tujuan, yakni dimensi menjadikan warga yang cerdas melalui literasi matematis,
dimensi penyiapan ke dunia kerja dan ke sekolah lanjutan, dan dimensi
matematika sebagai suatu disiplin.
C. Filsafat
Kesulitan Belajar Matematika
Secara filsafat,
Kesulitan dapat dimaknai sebagai kendala seseorang dalam usahanya menembus
Ruang dan Waktu. Dapat diartikan bahwa apabila siswa mengalami kesulitan
belajar matematika artinya siswa memiliki kendala dalam menembus ruang dan
waktu mereka sendiri. Hal tersebut merupakan ujian bagi guru, sehingga
guru harus memahami konsep
Humanist, konsep Perbedaan, konsep Ruang dan Waktu dalam filsafat untuk memahami
dengan baik ujian itu. Dari sisi HUMANIST, bahwa siswa adalah insan yang
terlahir lengkap dengan dianugerahinya potensi didalam setiap dirinya. Potensi
inilah yang harus digali. Maka setiap siswa SEBENARNYA memiliki potensi cerdas
hanya PERBEDAANnya adalah terletak pada penggaliannya. Ada yang cepat tergali,
ada yang lambat, ada yang galiannya dalam, dangkal, ada yang galian setengah
dalam, setengah dangkal dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang memunculkan
penilaian kita akan adanya siswa yang cerdasnya minta ampun, yang kurangya minta
ampun, yang cerdasnya cepat, yang cerdasnya lambat,dst. Guru juga harus
memahami bahwa kapasitas belajar siswa itu BERBEDA dengan kapasitas orang
dewasa maka tidaklah layak jika memaksakan RUANG dan WAKTU kepada mereka,
dengan kata lain tidaklah pantas memaksa mereka untuk belajar layaknya orang
dewasa yang belajar. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dari pemahaman filsafat
yang baik, guru akan terlahir menjadi guru yang tidak hanya memiliki
sensitivitas dan kreativitas dalam mengajar tapi juga akan memiliki kesabaran
terhadap ujian dalam proses mengajarnya.
Untuk
itu, secara epistemologi seorang guru harus memiliki pembawaan tersendiri dalam
memberikan sentuhan dalam proses pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar
guru diharapkan tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun memiliki
kecerdasan emosional. Apabila seorang guru mempunyai kecerdasan emosional, yang
mana berdampak kepada etika yang dimiliki guru matematika tersebut.
Hal
ini sejalan dengan paham IDEALIS dari PLATO, yang mana berdasarkan pandangannya
itu, Plato menyampaikan ajaran etika. Dalam ajaran etikanya, ia mengajarkan
bahwa siapa pun manusia itu harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia IDEA.
Disebutkan bahwa IDEA tertinggi adalah IDEA kebaikan. Dengan
pemahaman tentang idea kebaikan ini, maka kebahagiaan hidup dapat
diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu
menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran
mengenal diri sendiri (to know himself). Oleh karena itu guru harus
mengenal diri sendiri dan dapat menempatkan kondisi dalam diri sendiri sesuai
dengan situasi dan kondisi yang mana dibutuhkan.
Jangan sampai mengajarkan penggunaan matematika
dalam ranahnya orang dewasa kepada siswa dan juga jangan sampai semena-mena
dengan menerapkan matematika formal dan menggunakan matematika tanpa mengetahui
konsepnya, karena hal tersebut akan membebani siswa untuk berpikir sampai tahap
demikian. Terapkan matematika sesuai dengan ruang dan waktu siswa itu
tersendiri dan sesuai dengan kebutuhannya. Walaupun siswa memiliki ruang dan
waktu terbatas, ternyata banyak sekali hal-hal yang dapat dilakukan oleh siswa
dalam menggunakan matematikanya misal: menghitung, mengukur, mengira-ngira,
belanja,..dst.
Kita perlu membedakan antara "kemampuan
menerapkan matematika" dan "matematika terapan". Yang mana untuk
"kemampuan menarapkan matematika" dapat dipandang dari sisi kemampuan
berpikir secara umum, seperti yang dikemukakan oleh BLOOM, yaitu kemampuan berpikir
sejak dari : Mengingat, Memahami, MENERAPKAN, Analisis, Sintesis, dan Evaluasi.
Berarti setiap kegiatan berpikir terdapat aspek MENERAPKAN pemahamannya sebagai
suatu kriteria tahapan berpikir. Demikian itulah yang terjadi jika siswa
berpikir termasuk berpikir matematika. Sedangkan untuk "matematika
terapan" atau menerapkan matematika dalam kepentingan matematika
bermanfaat bagi ilmu-ilmu lain yang disebut sebagai domainnya orang dewasa.
Hal
yang paling penting disini adalah bagaimana kita mempromosikan
pembelajaran matematika berlandaskan kebutuhan siswa,
sehingga perwujudan dari apa yang dikatakan oleh Lawrence E. Shapiro Ph.D adalah Bawalah Dunia Mereka ke Dunia
Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Dalam konteks ini, guru
diamanatkan mampu memahami perasaan siswa dengan memilih pilihan bahasa ungkap
yang berkesuaian, membimbing siswa agar berkemampuan dalam pengendalian amarah,
penciptaan pembelajaran yang berkemandirian, menyesuaikan diri dengan kondisi
siswa, luwes sehingga disukai oleh siswanya, membimbing siswa dalam memecahkan
berbagai persoalan antar pribadi dan belajarnya, menanamkan ketekunan,
membudayakan rasa kesetiakawanan, menanamkan keramahan, sampai pada
pengkondisian sikap hormat, yang kesemuanya
diformulasikan dalam bentuk pembelajaran yang kondusif dan kreatif, menarik dan
empatif, menyenangkan dan menenangkan.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat saya simpulkan bahwa pendidikan matematika harus memperhatikan filsafat
pendidikan matematika karena pendidikan matematika tidak akan berhasil jika
filsafat tidak berperan di dalamnya. Sudah saatnya kita sebagai guru matematika
menguasai filsafat pendidikan matematika sehingga kita dapat merubah pandangan
kita tentang pendidikan yang sekarang sudah berubah paradigmanya. Upaya yang
saya lakukan adalah dengan mengubah pandangan saya tentang paradigm pendidikan
lama dan menggantikannya dengan paradigm pendidikan baru dengan lebih
menekankan aspek filsafat dalam pendidikan matematika sehingga pembelajaran
matematika akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Filsafat pendidikan matematika yang
akan di bangun dalam pendidikan matematika adalah filsafat konstruktivism
dengan membangun pengetahuan dengan dasar sintetik apriori, progresivism,
socio-konstruktivism, kategorism, pluralism, realism, eksistensialism, dan
pragmatis. Upaya yang dilakukan adalah memperhatikan pentingnya pemahaman
terhadap konsep dengan memanfaatkan kemampuan siswa untuk membangun sendiri
pengetahuan, bekerja sama dalam kelompok. Pembelajaran lebih menekankan
kehadiran benda konkret, penggunaan pengalaman hidup siswa, menggunakan situasi
konkret. Penggunaan metode pembelajaran yang banyak dan bervariasi untuk
melayani semua perbedaan individu dan tercapainya kompetensi siswa.
Pembelajaran dan penilaian lebih menekankan pada proses serta nilai atau
manfaat praktis yang akan diperoleh siswa dalam pendidikan matematika.
Salah satu kesulitan
yang paling sering dialami oleh siswa adalah proses pembelajaran matematika.
Kesulitan tersebut harus diatasi agar mengurangi permasalahan pada pembelajaran
matematika. Secara filsafat, kesulitan
dapat dimaknai sebagai kendala seseorang dalam usahanya menembus Ruang dan
Waktu. Dapat diartikan bahwa apabila siswa mengalami kesulitan belajar
matematika artinya siswa memiliki kendala dalam menembus ruang dan waktu mereka
sendiri. Hal tersebut merupakan ujian bagi guru, sehingga
guru harus memahami konsep
Humanist, konsep Perbedaan, konsep Ruang dan Waktu dalam filsafat untuk
memahami dengan baik ujian itu. Dari sisi HUMANIST, bahwa siswa adalah insan
yang terlahir lengkap dengan dianugerahinya potensi didalam setiap dirinya.
Potensi inilah yang harus digali. Maka setiap siswa SEBENARNYA memiliki potensi
cerdas hanya PERBEDAANnya adalah terletak pada penggaliannya. Ada yang cepat
tergali, ada yang lambat, ada yang galiannya dalam, dangkal, ada yang galian
setengah dalam, setengah dangkal dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang
memunculkan penilaian kita akan adanya siswa yang cerdasnya minta ampun, yang
kurangya minta ampun, yang cerdasnya cepat, yang cerdasnya lambat,dst. Guru
juga harus memahami bahwa kapasitas belajar siswa itu BERBEDA dengan kapasitas
orang dewasa maka tidaklah layak jika memaksakan RUANG dan WAKTU kepada mereka,
dengan kata lain tidaklah pantas memaksa mereka untuk belajar layaknya orang
dewasa yang belajar. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dari pemahaman filsafat
yang baik, guru akan terlahir menjadi guru yang tidak hanya memiliki
sensitivitas dan kreativitas dalam mengajar tapi juga akan memiliki kesabaran
terhadap ujian dalam proses mengajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anglin, W.S. (1994). Mathematics:
A Concise History and Pholosophy. New York: Springer Verlag.
Depdiknas. (2017). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19
Tahun 2017 Tentang Guru.
Marsigit.
(2015). Filsafat Matematika Plato. http://blogpengetahuanhwrh.blogspot.com/2015/11/filsafa-matematika
plato.html (Diakses 15 November 2019)
Marsigit. (2014). Hubungan antar Aliran Filsafat, Filsafat
Ilmu dan Filsafat Matematika. https://powermathematics.blogspot.com/2014/11/hubungan-antar-aliran-filsafat-filsafat.html (Diakses 15 Desember 2019)
Marsigit.
(2013). Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika. https://powermathematics.blogspot.com/2012/10/artikel-populer-pendidikan-karakter.html (Dikases 3 Januari 2020)
Marsigit. (2010). The South Circle of School Philosophy. http://powermathematics.com (diakses 18 Desember 2019)
Marsigit. (2008). Makalah
seminar: Gerakan Reformasi Untuk Menggali dan Mengembangkan Nilai-Nilai
Matematika Untuk Menggapai Kembali Nilai-Nilai Luhur Bangsa Menuju Standar
Internasional Pendidikan. Yogyakarta: UNY
Marselina, L.
(2011). Upayaku Membangun Filsafat Pendidikan Matematika. http://marselinalorensia.blogspot.com/2011/01/upayaku-membangun-filsafat-pendidikan.html (diakses 18 Desember 2019)
Sugiman.
(2009) Pandangan Matematika sebagai Aktivitas Insani beserta dampak
Pembelajarannya. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. ISBN:
978-979-16353-3-2
Komentar
Posting Komentar