Marsigit Philosophy 2019 (Objek dan Fenomena Matematika di Sekolah)-Dea Armelia
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
Penjelasan
Filosofis terhadap beberapa Objek dan Fenomena
Matematika
di Sekolah serta Identifikasi Persoalan
Filosofis
Pembelajaran Matematika di Sekolah
Diajukan
kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A.
untuk Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu
Oleh
Dea
Armelia
NIM
19709251072
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2019
A. Filosofis Objek Matematika
Objek
yang dipelajari dalam matematika adalah hal-hal yang sifatnya abstrak. Objek
tersebut berhubungan dengan hal-hal atau gambaran-gambaran yang diciptakan
sendiri. Dengan demikian objek matematika hanya ada dalam pikiran, sehingga sering disebut objek mental
atau objek pikiran. Sehingga untuk mempelajari matematika diperlukan ketajaman
pikiran dan kebenaran matematika hanyalah kebenaran pikiran bukan kebenaran
empiris.
Disini penulis ingin menjelaskan secara filosifis
berkaitan dengan objek matematika pada Kompetensi Materi Geometri
Seperti
objek matematika pada kompetensi
materi geometri, yang mana
keberadaan objek materi geometri inilah yang berhubungan dengan filsafat. Hal ini berhubungan dengan persoalan tentang ”ada”, sehingga berada pada ranah ontologi. Matematika ditinjau dari aspek ontologi, dimana aspek
ontologi telah berpandangan untuk mengkaji bagaimana mencari inti yang yang
cermat dari setiap kenyataan yang ditemukan, membahas apa yang kita ingin
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, menyelidiki sifat dasar dari apa yang
nyata secara fundamental. Pembahasan geometri meliputi benda-benda abstrak
sebagai objeknya. Pada kenyataannya, benda-benda abstrak tersebut dapat
dimodelkan dengan benda-benda kongkret sebagai objek pengamatan, khususnya pada
tahap awal pembelajaran tentang geometri di SMP. Pemodelan tersebut tetap harus
memperhatikan batasan-batasan atau definisi atau pengertian dari benda-benda
geometri yang dimaksud. Sehingga upaya mengkongkretkan banyalah untuk
mempermudah dalam penginderaan dan diarahkan untuk tidak merancukan atas
definisi atau pengertian benda-benda geometri yang sebenarnya. Dengan
pengamatan inderawi, para subjek pembelajar diharapkan memahami pengetahuan
melalui pengenalan dan pengertian. Pada akhirnya diarahkan untuk memahami objek
geometri sebenarnya yang bersifat abstrak dan hanya ada di alam pikiran. Sejalan
dengan ini, seorang filsuf Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraih
pengetahuan dan kebenaran filsafat. Menurut Plato ada suatu dunia yg
disebut”dunia ide” yang dirancang secara matematis.
Pada ranah epistemologi,
matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan
pengukuran secara kuantitatif. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual,
dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat. Perkembangan
struktur mental seseorang bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Penalaran matematika adalah penalaran
induktif dan deduktif . Berpikir induktif diartikan sebagai berpikir dari
hal-hal khusus menuju umum, berpikir deduktif diartikan sbagai berpikir dari
hal khusus menuju umum. Dalam geometri upaya memahami hal-hal yang abstrak guna
memperoleh penyelesaian dilakukan melalui pembelajaran yang kontekstual dan
pemodelan yang lebih kongkret. Pada asal mula lahirnya geometri, berawal dari
upaya untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah kongkret dalam kehidupan
manusia. Berawal dari keinginan untuk membuat bangunan yang megah dan indah,
mempermudah pengukuran, mengakuratkan perhitungan, dan menyelesaikan masalah
keruangan lainnya.
Sifat alami geometri yang abstrak berkaitan dengan bangun-bangun pada
matematika, berawal dari persoalan nyata kehidupan manusia. Sehingga hubungan
antara realitas dan penyusunan pengertian manusia berhubungan erat dengan fenomenologi. Menurut Edmund Hussrel, seluruh ciri benda yang
masuk ke dalam kesadaran sebagai fenomena.
Fenomena bersifat intensional, yang berarti selalu berhubungan dengan struktur
kesadaran. Kesadaran senantiasa terarah menampakkan diri, sehingga terjadi
korelasi antara kesadaran dengan fenomena.
Di dalam kesadaran, fenomena berwujud sebagai perwakilan atas objek. Sartre menamakan perwakilan atas objek
di dalam kesadaran dengan istilah imaji. Konsep imaji Sartre mempunyai dasar
pengertian pada fenomena dan konstitusi Husserl, yang terlihat pada penjelasan
: “Dengan demikian kata imaji hanya menunjukkan hubungan kesadaran dengan
obyek; dengan perkataan lain, imaji berarti cara di mana objek menampakkan
dirinya dalam kesadaran, atau suatu cara dimana kesadaran menghadirkan objek untuk
kesadaran itu sendiri”.
Imaji dalam kesadaran mempengaruhi proses kognitif terhadap keberadaan
objek yang tidak bersifat tunggal. Di saat indera menangkap objek geometri atau
pemodelannya, persepsi akan menangkap keseluruhan objek sesuai dengan setyiap
imaji dan menghasilkan imaji tentang onjek yang dilihat beserta keadaan lain
seperti sifat-sifatnya. Sehingga di saat berhadapan dengan objek geometri yang
sebenarnya (abstrak) yang memiliki kesamaan ciri-ciri dengan hasil pengamatan
sebelumnya, kesadaran akan membentuk imaji dari objek geometri tersebut.
Berdasarkan gagasan tentang imaji, objek-objek tersebut mendapati landasan
ontologinya.
Aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam
seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi
merupakan filsafat nilai, menguak baik buruk, benar-salah dalam perspektif
nilai. Aksiologi matematika
sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran, tanggungjawab dan
peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang membahas mengenai keindahan
matematika dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek
lain terutama seni dan budaya dalam kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek
aksiologi, matematika seperti ilmu-ilmu yang lain, yang sangat banyak memberikan
kontribusi perubahan bagi kehidupan umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh matematika.
Berdasarkan ranah aksiologi, nilai-nilai
matematika dapat dilihat pada penggunaanya seperti : 1) Digunakan dalam bidang
sains dan teknik, 2) Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia, 2) Membantu
manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian, 3) Ilmu matematikan juga
digunakan dalam bidang komputer, 4) Membantu manusia berpikir secara matematis
dan logis, dan 5) Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.
Pada aspek estetika yang
membahas mengenai keindahan geometri
dan implikasinya pada kehidupan yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain
terutama seni dan budaya pada kehidupan. Banyak bangunan megah dan indah
dihasilkan dari penerapan geometri pada bidang arsitektur. Bentuk geometris
dalam sebuah perumahan modern menunjukkan area-area yang melingkar, garis
lurus, konstruksi atap yang berbentuk segitiga, kotak-kotak yang rapi ataupun
halaman rumah berbentuk persegipanjang, dan banyak bangun yang simetris
terhadap suatu garis.
B. Filosofis Fenomena Matematika
Realita masalah yang slalu dikaji dalam matematika
yaitu esensi matematika itu sendiri yang slalu dianggap sebagai pelajaran yang
sulit. Para pelajar menjudge bahwa matematika itu sulit dan rumit karena
selalu berhubungan dengan angka, rumus dan hitung-menghitung. Pemikiran awal
seseorang yang seperti itu jelas akan memengaruhi terhadap penguasaan
matematika seseorang karena sebelumnya sudah ada rasa takut tidak bisa memahami
pelajaran matematika dan malas. Mereka sudah terlebih dahulu tidak tertarik dengan
Disini penulis ingin menjelaskan secara filosifis
berkaitan fenomena matematika yaitu Fenomena
Kesulitan Pesera Didik dalam Belajar Matematika.
Secara filsafat, Kesulitan dapat dimaknai kendala seseorang dalam usahanya menembus Ruang dan Waktu. Hal tersebut merupakan ujian bagi guru,
sehingga
guru harus memahami konsep Humanist, konsep Perbedaan, konsep Ruang
dan Waktu dalam filsafat akan memahami dengan baik ujian itu. Harus
dipahami dari sisi HUMANIST, bahwa
siswa adalah insan yang terlahir lengkap dengan dianugerahinya potensi didalam
setiap dirinya. Potensi inilah yang harus digali. Maka setiap siswa SEBENARNYA memiliki potensi cerdas
hanya PERBEDAANnyaa ialah terletak
pada penggaliannya. Ada yang cepat tergali, ada yang lambat, ada yang
galiannyya dalam, dangkal, ada yang galian setengah dalam, setengah dangkal.
Perbedaan inilah yang memunculkan penilain kita akan adanya siswa yang
cerdasnya minta ampun, yang bodohnya juga minta ampun, yang cerdasnya cepat,
ada lambat cerdasnya lambat,dst. Guru juga harus memahami bahwa kapasitas
belajar siswa itu BERBEDA dengan
kapasitas orang dewasa maka tidaklah layak jika memaksakan RUANG dan WAKTU kepada
mereka dengan kata lain tidaklah pantas memaksa mereka untuk belajar layaknya
orang dewasa yang belajar. Sehingga dapat saya simpulkan bahwa dari pemahaman
filsafat yang baik, guru akan terlahir menjadi guru yang tidak hanya memiliki
sensitivitas dan kreativitas dalam mengajar tapi juga akan memiliki kesabaran
terhadap ujian dalam proses mengajarnya.
Untuk itu, secara epistemologi seorang guru harus
memiliki pembawaan tersendiri dalam memberikan sentuhan dalam proses pembelajaran.
Dalam proses belajar mengajar guru diharapkan tidak hanya memiliki kecerdasan
intelektual, namun memiliki kecerdasan emosional. Apabila seorang guru
mempunyai kecerdasan emosional, maka akan menjadi seorang guru matematika yang
professional sebagaimana semestinya. Seorang guru pasti selalu diperhatikan
oleh peserta didik karena guru memegang peran dalam menentukan keberhasilan
proses belajar mengajar. Kercerdasan emosional yang dimiliki guru matematika
akan berdampak kepada etika yang dimiliki guru matematika tersebut. Kecerdasan
emosional akan membuat seorang guru matematika dapat mengontrol sikap yang akan
ditunjukkan di dalam kelas dan membuat pelajaran yang disampaikan akan
berpengaruh dan membekas dalam jiwa siswa tersebut.
Hal ini sejalan dengan paham IDEALIS dari PLATO, yang
mana berdasarkan pandangannya itu, Plato menyampaikan ajaran etika. Dalam
ajaran etikanya, ia mengajarkan bahwa siapa pun manusia itu harus mampu
mencapai pemahaman tentang dunia IDEA.
Disebutkan bahwa IDEA tertinggi
adalah IDEA kebaikan. Dengan pemahaman
tentang idea kebaikan ini, maka kebahagiaan hidup dapat diharapkan.
Orang dapat mencapai pemahaman idea kebaikan bila mampu menyelami dunia
pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ajaran mengenal diri sendiri (to
know himself). Oleh karena itu guru harus mengenal diri sendiri dan dapat
menempatkan kondisi dalam diri sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi yang
mana dibutuhkan kecerdasan emosional di dalamnya.
Oleh karena itu kualitas guru harus mampu menggapai
dunia siswa dan memahami dunia siswa tersebut sehingga perwujudan dari apa yang
dikatakan oleh Lawrence E. Shapiro Ph.D.
adalah Bawalah Dunia Mereka ke
Dunia Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka, yang disebutnya dengan
kecerdasan emosional “empati”. Dalam
konteks pengembangan kecerdasan emosional, guru diamanatkan mampu memahami
perasaan siswa dengan memilih pilihan bahasa ungkap yang berkesuaian,
membimbing siswa agar berkemampuan dalam pengendalian amarah, penciptaan pembelajaran
yang berkemandirian, menyesuiakan diri dengan kondisi siswa, luwes sehingga disukai
oleh siswanya, membimbing siswa dalam memecahkan berbagai persoalan antar pribadi
dan belajarnya, menanamkan ketekunan, membudayakan rasa kesetiakawanan,
menanamkan keramahan, sampai pada pengkondisian sikap hormat, yang kesemuanya diformulasikan dalam bentuk
pembelajaran yang kondusif dan kreatif, menarik dan empatif, menyenangkan dan
menenangkan.
C. Identifikasi
Persoalan Filosofis Pembelajaran Matematika di Sekolah
Persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci
menjadi tujuh persoalan sebagai bertikut:
1. Epistemologi
matematik, yang menelaah matematika berdasarkan berbagai segi pengetahuan
seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas, asumsi dan landasan.
2. Ontologi
matematik, yang mempersoalkan cakupan pernyataan matematik sebagai dunia nyata
atau bukan.
3.
Metodologi
matematik, yang menelaah metode khusus yang dipergunakan dalam matematika.
4. Struktur logika matematik, yang membahas matematika sebagai struktur yang bercorak logis,
yaitu struktur yang tunduk pada kaidah logika (law of logic), dan yang
mencapai kesimpulan logis (logical conclusions) tanpa menghiraukan
keadaan dunia empirik.
5. Implikasi etis
matematis, yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan
matematika dalam pelbagai bidang kehidupan, yang dipandang dari sudut pandang
etika.
6. Aspek estetis
matematik, yang berkaitan dengan ciri seni dan keindahan matematika, yang
diukur berdasarkan orisinalitas ide, kesederhanaan dalil, dan kecemerlangan
pemikiran; dan
7. Peranan
matematik dalam sejarah peradaban, yang meliputi analisis, deskripsi, evaluasi,
dan interpretasi tentang peranan matematik dalam peradaban sejak zaman kuno
hingga abad modern.
Berdasarkan
pemaparan di atas, saya memfokuskan untuk mengindentifikasi persoalan geometri
dalam filosofis pembelajaran matematika di sekolah, yang mana dijelaskan
sebagai berikut:
1. Kesulitan
siswa dalam memahami konsep diagonal ruang bangun Geometri sehingga berakibat mengalami
kendala dalam proses pemechan masalah.
Penjelasan secara
filsaat:
-
Secara
filsafat, Kesulitan dapat dimaknai kendala seseorang dalam usahanya Menembus
Ruang dan waktu.
- Secara
filsafat, kegiatan Pemecahan Masalah dapat dipandang sebagai Vitalitas atau
ikhtiar atau usaha
- Diagonal ruang
suatu bangun geometri adalah satu dari sekian banyak sifat yang ada dari bangun
tersebut.
- Secara
filsafat, mendefinisikan "belajar" sebagai segala usaha untuk
"mengadakan" dari beberapa sifat "yang mungkin ada".
Kesimpulan
nya adalah usaha siswa belajar untuk memahami konsep "diagonal
ruang"dapat dipandang sebagai mengadakan segala sifat diagonal ruang yang
mungkin ada. Seperti halnya untuk mengetahui siat-sifat yang lainnya, maka
secara filsafat cara memahami konsep diagonal ruang dapat dilakukan dengan
metode hermenitika yaitu terjemah dan diterjemahkan, yang di dalamnya
terkandung kegiatan interaksi, baik antar guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, maupun siswa dengan objek belajar yaitu objek bangun geometri itu
sendiri seperti Balok, Kubus, Lingkaran, dll. Untuk membangun belajar yang
lebih bermakna maka guru harus mampu menumbuh kembangkan intuisi siswa; berarti
diperlukan objek belajar yang lebih konkrit.
2. Siswa
kurang mampu dalam hal menemukan konsep geometri sendiri.
Penjelasan Filsafat:
Penjelasan Filsafat:
Menemukan
sendiri, mengandung pengertian Membangun yang kemudian sesuai dengan paradigma
Constructivisme.
Dalam pandangan
ini, belajar diartikan sebagai membangun pengetahuan dalam diri siswa. Paradigm
konstruktivisme ini merupakan paradigma yang saat ini dipandang sebagai
paradigma yang sesuai untuk diterpakan dalam pembelajaran. Menemukan sendiri
atau membangun pengetahuan sendiri dalam diri siswa berarti siswa dipandang
sebagai subjek aktif atau actor dalam pembelajaran. Sementara guru bukan lagi
sebagai pemberi ilmu pengetahuan kepada siswa, namun guru berperan sebagai
fasilitator.
3. Bagaimana penjelasan filsafat
tentang bentuk, ukuran, dan macam-macam bangun-bangun geometri?
Secara
filsafat segala bentuk, ukuran, dan macam-macam bangun-bangun geometri hanya
dapat dipahami di dalam Intuisi Ruang dan Waktu.
4.
Objek
Geometri yang Abstrak
Penjelasan Filsafat:
Objek geometri merupakan hal yang abstrak yang tidak dapat diraba, dipegang,
atau diamati secara langsung melalui panca indera. Misalnya bila kita menunjuk
sebuah persegi panjang dan
kemudian menggambarkan atau membuatnya dengan mnggunakan lidi atau kawat,
sesungguhnya itu bukanlah persegi panjang yang dimaksudkan di dalam geometri. Ia hanyalah sebuah model
persegi panjang.
Sedangkan persegi panjang
sebenarnya hanya ada dalam alam pikir manusia. Siapa yang bisa menetapkan
seberapa besar garis atau sisi sebuah persegi panjang. Demikian pula bagaimana dengan ketebalan sebuah persegi panjang. Hal-hal tersebut tak pernah terungkap di saat membicarakan persegi panjang dan juga benda-benda geometri yang lainnya. Akan tetapi mereka ada
dan dapat dipelajari sebagai materi matematika yang sangat bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari dan juga dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Oleh kaarena itu, permasalahan yang sering muncul dalam
pembelajaran geometri diantaranya adalah berkaitan dengan objek geometri adalah
benda-benda pikir yang abstrak, sedangkan tingkat perkembangan berpikir siswa
berpikir secara kongkret.
5.
Intensi
saling Kontradiksi
Antara sistem yang satu dengan yang lain tidak mustahil
terdapat pernyataan yang intensinya saling kontradisi. Sebagai akibat dari
adanya sistem geometri Euclides dan sistem geometri non-Euclides dijumpai dua
pernyataan yang kontradiktif. Geometri Euclides memiliki teorema yang berbunyi
“ Jumlah besar sudut-sudut sebuah segitiga adalah seratus delapan puluh derajat
“, Geometri non-Euclides memiliki teorema yang berbunyi “ Jumlah besar
sudut-sudut segitiga lebih (besar) dari seratus delapan puluh derajat “.
Keduanya bernilai benar dalam masing-masing sistem dan strukturnya.
Referensi :
Bakhtiar,
Amsal. (2004). Filsafat Ilmu. Bandung: Rajawali Press.
Marsigit.
(2014). Hubungan antar Aliran Filsafat,
Filsafat Ilmu dan Filsafat Matematika. https://powermathematics.blogspot.com/2014/11/hubungan-antar-aliran-filsafat-filsafat.html (Diakses 18
November 2019)
.(2015). Filsafat Matematika Plato. http://blogpengetahuanhwrh.blogspot.com/2015/11/filsafa-matematika-plato.html (Diakses 18 November 2019)

Komentar
Posting Komentar